Apresiasi Pada Karya Tektonika Mangunwijaya
memasuki bangunan
Dalam bahasa sesehari kita, kata membangun memuat pengertian menegakkan, menyusun dan membuat susunan itu berdiri di atas bumi. Mungkin kata ini diambil dari ranah (domain) domestik ketika manusia harus menegakkan rumah dan membangun dunia kecil yang ia kuasai di sekeping tanah di muka bumi. Dan sementara itu, rumah adalah bangunan pertama yang manusia bangun, sebelum ia mengenal dan membangun 'rumah sakit', 'rumah makan', 'rumah tahanan', 'rumah ibadah' dan 'rumah-rumah' yang lain. Artinya, kegiatan membangun adalah salah satu kegiatan yang eksistensial bagi tegaknya manusia berada di muka bumi.
Bangunan, pertama-tama adalah produk kegiatan teknis (sudilah mengingat pengertian 'tekhne' yang menurunkan istilah 'teknis' ini, sebagaimana ditulis Heidegger dalam “Building Dwelling Thinking”, 1954), sebelum kemudian ditafsir atau dibaca sebagai sebuah teks dalam semiotika dan diperlakukan sebagai simbol yang bermakna. Dengan menyebut arsitektur sebagai bangunan, ini adalah usaha untuk mengembalikan dia pada aspek materialnya.
Secara teknis, menegakkan bangunan adalah semacam perjuangan sebagai perlawanan terhadap gravitasi, sebab semua bahan yang manusia pilih dari alam, untuk disusun dan ditegakkan sebagai unsur bangunan itu memiliki kecenderungan untuk rebah ke tanah. Melalui Galileo dan Newton kita diberitahu tentang konsep gaya, energi dan daya. Kita juga diberitahu bahwa suatu struktur bisa berdiri dan tidak kolaps itu karena ada konfigurasi yang seimbang dari gaya-gaya yang bekerja padanya. Setiap struktur yang stabil selalu dapat digambarkan diagram dari gaya beban yang bekerja, beserta gaya lain yang mengimbanginya.
Kegiatan membangun adalah upaya menangani itu, melawan kecenderungan alamiah untuk rebah itu. Kejelian seseorang memilih dan mengenali tabiat bahan bangunan serta ketrampilannya menangani gaya-gaya yang bekerja pada hubungan unsur bangunan satu dengan yang lain menjadi taruhan tegaknya bangunan tadi. Sambungan (joint) adalah jantung persoalan ini. Apaboleh buat, manusia pembangun hanya bisa menurut pada kemampuan yang bisa diberikan oleh bahan bangunan yang ada padanya, sehingga perkara mengoptimalkan kemampuan bahan hingga sampai pada batas-batasnya adalah perkara penting bagi manusia pembangun.
Manusia pembangun di sini adalah para tukang, dan setiap orang pada mulanya adalah tukang bagi dirinya sendiri. Tukang dan ketukangannya, craft and craftmanship adalah batu penjuru dari proses membangun, suatu peran penting dalam kebudayaan yang sering dikecilkan oleh praktik dan pengajaran arsitektur masa kini.
Bila kebudayaan adalah buah dari penciptaan tempat (place), maka ketika seseorang menetap di sebidang tanah di muka bumi dan, dengan menggunakan peralatan dan bahasa, menegakkan batas-batas teritori ruangnya, maka sebenarnya ia tengah menciptakan dunia bagi dirinya.
Kembali menghargai peran tukang adalah sebentuk kesadaran bahwa kultur membangun itu bermula dari hasrat eksistensial manusia untuk tegak di muka bumi, di tempatnya. Bangunan, dengan demikian, adalah "tempat" dan sekaligus "buah" manusia menjalankan aktivitas budayanya.
tektonika
Mengikuti Kenneth Frampton dalam “Studies in Tectonic Culture, 1995”, konon istilah tektonika diturunkan dari kata tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau manusia pembangun (builder), yang pada gilirannya nanti akan berhubungan dengan istilah Sanskrit taksan, yang merujuk pada ketrampilan dan pertukangan kayu, atau hal yang berhubungan dengan penggunaan kampak (axe).
Di Gerika Kuna istilah ini muncul dalam Homer, di sana istilah ini digunakan untuk pengertian seni membangun pada umumnya. Kata kerja membangun (tektainomai) dan membuat (poesis) berkaitan amat erat. Dalam Sappho, tekton -si tukang- dipadankan dengan penyair (poet). Memang pada abad kelima SM pengertian ini mengalami evolusi dari sesuatu yang sangat khusus dan fisik, seperti pertukangan kayu (carpentry), kepada gagasan 'membuat' yang lebih umum yang memasukkan juga kedalamnya pengertian poesis.
Secara umum, dengan mengikuti Gottfried Semper, kita menggunakan istilah tektonika (tectonics) ini untuk merujuk pada ketrampilan menyusun atau membuat yang menggunakan bahan ringan sebagai lawan dari penggunaan bahan berat (batu, lempung) yang oleh Semper digolongkan sebagai stereotomic.
Dengan 'menyusun' dan 'membuat' di sini memasukkan juga kegiatan seperti menjalin, merajut, menganyam dari bahan-bahan ringan semacam rumput, alang-alang, rotan, tali, benang, kain, membran, dsb.
Menganyam, merajut dan menjalin adalah kegiatan-kegiatan mendasar dalam kebudayaan. Bila Abbé Laughier mengajukan gagasan tentang 'primitive hut' sebagai cikal-bakal hunian manusia, maka Semper (seperti dikutip Aaron Betsky dalam Building Sex, 1995) menawar dengan mengatakan bahwa tenda adalah hunian awal manusia. Telaah etnologisnya mendukung untuk mengatakan bahwa tindakan menganyam dan menenun ranting dan kemudian benang untuk menjadi tenda - yang dilakukan baik oleh lelaki maupun perempuan- adalah tindakan-tindakan awal membuat hunian, jauh ketika manusia masih nomad.
Dan, lihatlah, tindakan menganyam dan menenun itu, masih dapat kita saksikan pada banyak karya arsitektur vernakular di seluruh dunia, termasuk di Nusantara. Dinding, lantai dan atap pada arsitektur Nusantara dapat dianggap sebagai buah dari tenunan bahan-bahan alami yang ada di sekitarnya: ragum, ijuk, gedek, ilalang, rotan, dan sebagainya, yang tidak jauh dari produk kerajinan tangan seperti tikar, tenong, kukusan, besek, dan alat-alat rumahtangga lain.
Menganyam suatu bahan, masih mengikuti Semper, perlu diberi catatan lebih lanjut karena batu bata, batu koral, kerikil, dan bahan-bahan lain -sekalipun berat bobotnya- tapi bila disusun, ditebar atau dirangkai menjadi struktur yang lebih besar, pun dapat digolongkan sebagai karya tektonika.
bahan
Place - space - structure - dan material adalah suatu kontinuum. Jelasnya, penciptaan tempat untuk “ada” manusia memerlukan penegasan teritori ruang melalui pendirian suatu struktur yang tersusun atas bahan-bahannya. Bahan, dengan demikian, adalah titik tolak dalam proses membangun. Manipulasi bahan oleh alat dan prosedur (teknik, technique) -artinya: terknologi- tertentu akan menghasilkan karya-karya yang khas. Di tempat yang banyak bambu akan melahirkan alat-alat yang memang cocok untuk menangani bambu, dan pada gilirannya akan membutuhkan tatacara atau prosedur yang memang khas untuk bambu. Terobosan pada salah satu dari ketiga unsur teknologi tadi akan membuka khasanah yang tidak habis dicari kemungkinan-kemungkinannya yang baru.
Bagaimana dengan sikap terhadap bahan-bahan yang baru, bagaimana memahami kodrat dari bahan yang baru? Dengan datangnya bahan-bahan yang baru, kita cenderung bekerja dengan berpedoman pada bahan yang sebelumnya kita kenal, sebagaimana kolom-kolom besi yang perlakuannya meniru cara bekerjanya kolom kayu. Memang, tidak ada kesepakatan pada segi apanya yang kita tiru dari bahan sebelumnya itu. Ketika beton diperkenalkan, ada banyak cara memandang dan cara memperlakukannya: sebagai lempung, sebagai batu, sebagai bata, sebagai kayu... Juga, ketika besi cor dikenalkan, ada yang memperlakukannya sebagai bahan cair (liquid) yang cocok untuk membuat bentuk-bentuk florist yang bersulur-sulur, sementara ada pula yang memperlakukannya sebagai batang-batang besi karena meneladani batang-batang kayu sebagai pendahulunya. Bahan baru atau lama, tuntutan untuk mengenali kodratnya adalah utama.
Sepanjang sejarah, banyak arsitek telah mencoba bermain dengan bahan-bahan yang ada di suatu tempat, namun memperlakukannya dengan teknik (dan sekaligus alat) yang baru. Hasilnya adalah bangunan yang seolah lama namun baru. Dengan ini maka tradisi membangun dibawa maju dan semangat lokal tetap dipelihara.
dialog di sambungan
Karena membangun tak terelakkan lagi adalah kegiatan menyusun satuan-satuan bahan yang direncanakan melindungi tempat manusia berada, maka hubungan satuan satu dengan yang lain, hubungan bahan satu dengan yang lain menjadi perkara penting yang harus mendapatkan perhatian penuh. "Tectonics becomes the art of joinings", kata Adolf Heinrich Borbein, 1982. Sambungan (joints), suatu keadaan yang niscaya ada, harus terjamin tidak hanya pada kekuatannya namun juga keselarasannya. Sambungan ini tidak hanya harus benar secara statika, namun harus juga menampilkan diri secara visual kebenaran nalar itu. Kebenaran statika yang terungkap dalam citra !
Sambungan yang menceriterakan secara visual peri bagaimana bagian satu bertemu dengan bagian lain juga mengisahkan riwayat perjalanan gaya dari puncak struktur hingga masuk mengakar ke bumi, yang dengan itu terjelaskanlah bagaimana struktur itu bisa tegak melawan gravitasi. Riwayat suatu bangunan jadi jernih terbaca, telanjang di hadapan siapa pun.
Dialog berjumpanya bahan yang berbeda di sambungan itu -seperti laiknya perjumpaan apa pun- selalu berlimpah dengan potensi untuk penafsiran: perjumpaan macam apa yang tengah berlangsung? Dominasi? Berpautan? Jalin-menjalin? Saling mengelak? Dan sebagainya.
'God is in detail' demikian seorang arsitek modernis Mies Van der Rohe menekankan betapa pentingnya sambungan.
Di sini, di sambungan ini, bangunan ditantang: mampukah mengungkap (aletheia) kebenaran? Arsitektur yang ingin serba menutup tubuhnya dan hanya mengabdikan diri pada volume ruang mengabaikan dan mengaburkan sambungan, serta memerosotkan arsitektur itu sendiri.
indah dan benar
Pengalaman akan keindahan bermula dari pesona, rasa takjub. Keterpesonaan kita pada sesuatu ciptaan, natural maupun kultural, membenamkan kita pada keindahan atau 'hal indah' itu. Tidak jadi soal, apakah keindahan yang kita hayati itu molek gemerlap atau kotor berdebu. Dengan menghayati kebenaran rumus matematika pun kita bisa terbenam dalam keindahan itu. Kita menghayati keindahan ketika kita menyadari bahwa kelumrahan telah dilampaui atau di-atas-i.
Suatu ciptaan, baik yang sederhana maupun yang pelik (sophisticated) dapat menggiring kita pada keindahan bila menyingkapkan kebenaran.
Dan itu salah satunya juga dapat ditemui orang pada karya arsitektur yang baik. Karya-karya arsitektural yang dapat mengungkapkan bagaimana ia dibangun, dirangkai, bagaimana gaya berlalu-lintas dan terdistribusi pada sambungannya, serta bagaimana bahan-bahan itu berbicara apa adanya dan berdialog satu dengan yang lain dengan bahasa yang jernih itu dapat kita jumpai dalam karya Mangunwijaya. Pemahamannya tentang keindahan yang seperti ini diturutnya dari ucapan St. Thomas Aguinas : "Keindahan adalah pancaran kebenaran", (Pulchrum splendor est veritatis).
mangunwijaya, menangnya manusia pembangun
Tektonika adalah salah satu segi terkuat dari karya Mangunwijaya. Hampir seluruh karyanya dibentuk dari sikap hormatnya pada bahan dan bagaimana memperlakukannya. Ia berperan sebagai manusia pembangun sebaik-baiknya: tukang.
Ia bergaul erat dengan tukang, dengan ketrampilannya, dengan spirit ketukangannya. Ia memiliki mata, hati dan tangan seorang tukang. Di tangannya batu dan kayu itu bicara lewat bentuk, bobot, tekstur, yang kemudian bersama dengan bahan yang lain berdialog dengan selaras. Dengan bebas bahan itu ditundukkannya, dilepaskannya dari jeratan pabrik yang telah memaksanya berbentuk dan berukuran tertentu. Tukang yang pantang menyerah dengan keterbatasan bahan, yang diterobosnya dengan pengetahuannya yang tinggi tentang statika dan fisika bangunan. Hampir di setiap proyeknya, ongkos tukang lebih besar daripada harga bahan bangunannya! Dia mengenal tukang-tukangnya, demikian pula para tukang itu hapal dengan tipologi sang master.
pendidikan arsitektur
Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya. Mengikuti cara Mangunwijaya membangun adalah seperti magang pada seorang Master Tukang, suatu model pendidikan yang sebenarnya paling sesuai untuk arsitektur. Jarak yang terlalu jauh antara gagasan dan pewujudan bisa diatasi dengan mengakrabkan mahasiswa bergaul dengan bahan-bahan sejak mula. Studi model jadi penting sekali untuk dikembangkan dalam pendidikan kita.
sejarah arsitektur nusantara
Ia melanjutkan ketukangan tradisional yang ada di sekitarnya dengan penjelajahan baru terhadap bahan-bahan yang digunakan. Lihatlah, melalui teknik dan alat yang baru, karya-karyanya serentak baru namun tetap berakar di tempatnya.
Bila arsitektur tradisional memiliki kendala lokalitas sehingga hanya punya pilihan terbatas untuk mendapatkan bahan bangunan, maka MAngunwijaya pun memiliki kendala biaya sehingga harus mengandalkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya. Situasi yang sama-sama terbatas ini rupanya telah sama-sama memaksa lahirnya karya yang memeras bahan sampai pada batas-batasnya, sampai pada esensinya. Bahan-bahan tampil dengan wajar, apa adanya, benar dan akhirnya... indah. Keindahan tektonika !
Bentuk-bentuk bangunan karyanya sama sekali tidak berpretensi meniru atau memiripkan diri dengan bangunan tradisional manapun di Nusantara ini, namun semangat untuk selalu memulai membangun dari bahannya inilah yang membuat Mangunwijaya mendapat tempat dalam sejarah arsitektur Nusantara, berada dalam tradisi yang sama dengan para pendahulunya.
Dikutip dari : www.tulisan.scriptmania.com
Senin, 04 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar