Harrys Mursid Wibowo
20308017
ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA TENGAH
Mengenal Masyarakat Jawa Tengah
a. Persebaran
Suku jawa adalah suku yang mendiami pulau jawa daerah tengah dan timur, sebelum adanya pembagian wilayah seperti sekarang ini. Pusat kebudayaan suku jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya perjanjian giyangti tahun 1755, pusat kebudayaan jawa berpusat di dua tempat, yaitu surakarta dan yogyakarta
b. Sistem Religi dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh sebagian besar suku jawa adalah islam, katolik, hindu,Kristen, budha.
Islam sendiri berkembang dijawa menjadi beberapa golongan, yaitu
• Islam Santri
Golongan yang menjalankan ibadah islam sesuai dengan syariat-syariatnya
• Islam Kejawen
Golongan yang percaya pada ajaran islam, tetapi tidak patuh menjalankan syariat islam, dan masih percay pada kekuatan lain
Disamping percaya kepada agama, masyarakat jawa juga masih percaya kepada kekuatan lain, seperti :
• Percaya kepada makhluk halus
• Percaya kepada hari baik/naas
• Percaya kepada hari kelahiran/weton
• Percaya pada benda-benda pusaka
• Perayaan hari istimewa/sakral(selamatan)
c. Sistem Kekerabatan
Masyarakat jawa menganut sistem kekerabatn bilateral atau paralel.
Dimana semua anggota keluarga terhubung sangat dekat.
d. Sistem politik dan kemasyarakatan
Pada zaman dahulu, suku jawa mengenal stratifikasi sosial, yaitu:
• Bendoro
• Priyayi
• Wong Cilik
Ada juga stratifikasi berdasarkan kepemilikan tanah, yaitu :
• Wong Baku
• Kuli gondok
• Sinoman
e Sistem Ekonomi
Masyarakat jaea sebagian besar nerpofesi sebagai petani, tidak semua masyarakat jawa mempunyai tanah untuk berladang, karena itu ada sebagian masyarakat jawa yang mengembangkan profesi ke bidang lain.
f Kesenian
Masyarakat jawa sebagian besar mempunyai kesenian olha tubuh, yaitu seni tari.
Rumah Adat Jawa tengah
Rumah adat jawa tengah berbentuk rumah joglo, Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang.
Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional.
Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.
Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan.
Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktuwaktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya.
Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.
Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.
Untuk membedakan status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah dengan gaya ini
1. Denah
Denah rumah tradsional jawa tengah membentuk pola grid, bila di tarik garis-garis imajiner,maka pola grid akan terlihat.
2. Keseimbangan
Keseimbangan pada rumah tradisional jawa tengah berbentk simetris, baik scara tampak maupun denah, hal ini akan terlihat jika ditarik garis imajiner pada masing-masing sumbu.
• Pondasi dan kolom
Pondasi pada rumah tradisional jawa tengah menggunakan jenis pondasi umpak, yaitu dengan penopang batu kali yang dihubungkan kekolom.
Jenis kayu yang digunakn adalah jati, karena kayu jenis ini selain karena kekuatannya, juga mudah didapat pada waktu dahulu.
Sebagian kepala pondasi dimunculkan ke permukaan tanah, dan menjadi aksen tersendiri dalam rumah ini
• Pondasi dan lantai
Kepala pondasi dan lantai berhubungan langsung.
Sebelum adanya perkerasan lantai dahulu lantai rumah tradisional ini menggunakan tanah sebagai alasnya.
• Bukaan / Jendela
Bukaan pada rumah tradisionl jawa tengah memang meiliki banyak bukaan, menyesuaikan dengan iklim indonesia yang tropis.Tetapi ukuran bukaan tersebut tidak terlalu besar.
Jendela terbuat dari bahan kayu jati, ornamen yang biasa digunakan adalah ukiran flora.
• Pintu
Pintu Utama pada rumah tradisional jawa tengah memang dibuat lebar,hal ini merupakan implementasi masyarakat jawa yang terbuka kepada semua tamu yang datang, pintu biasa dihiasi ukiran-ukiran khas yang biasa disebut gebyok.
• Kolom
Kolom pada rumah tradisonal jawa tengah berjumlah genap, dengan 4 kolom utama sebagai struktur di tengah,atau biasa disebut soko guru,
• Atap
Atap rumah tradisonal jawa tengah berebentuk atap limasan, lebih spesifik lagi disebut dengan limasan lawakan.
Selasa, 05 Januari 2010
Senin, 04 Januari 2010
MANGUN WIJAYA dan ARSITEKTONIK
Apresiasi Pada Karya Tektonika Mangunwijaya
memasuki bangunan
Dalam bahasa sesehari kita, kata membangun memuat pengertian menegakkan, menyusun dan membuat susunan itu berdiri di atas bumi. Mungkin kata ini diambil dari ranah (domain) domestik ketika manusia harus menegakkan rumah dan membangun dunia kecil yang ia kuasai di sekeping tanah di muka bumi. Dan sementara itu, rumah adalah bangunan pertama yang manusia bangun, sebelum ia mengenal dan membangun 'rumah sakit', 'rumah makan', 'rumah tahanan', 'rumah ibadah' dan 'rumah-rumah' yang lain. Artinya, kegiatan membangun adalah salah satu kegiatan yang eksistensial bagi tegaknya manusia berada di muka bumi.
Bangunan, pertama-tama adalah produk kegiatan teknis (sudilah mengingat pengertian 'tekhne' yang menurunkan istilah 'teknis' ini, sebagaimana ditulis Heidegger dalam “Building Dwelling Thinking”, 1954), sebelum kemudian ditafsir atau dibaca sebagai sebuah teks dalam semiotika dan diperlakukan sebagai simbol yang bermakna. Dengan menyebut arsitektur sebagai bangunan, ini adalah usaha untuk mengembalikan dia pada aspek materialnya.
Secara teknis, menegakkan bangunan adalah semacam perjuangan sebagai perlawanan terhadap gravitasi, sebab semua bahan yang manusia pilih dari alam, untuk disusun dan ditegakkan sebagai unsur bangunan itu memiliki kecenderungan untuk rebah ke tanah. Melalui Galileo dan Newton kita diberitahu tentang konsep gaya, energi dan daya. Kita juga diberitahu bahwa suatu struktur bisa berdiri dan tidak kolaps itu karena ada konfigurasi yang seimbang dari gaya-gaya yang bekerja padanya. Setiap struktur yang stabil selalu dapat digambarkan diagram dari gaya beban yang bekerja, beserta gaya lain yang mengimbanginya.
Kegiatan membangun adalah upaya menangani itu, melawan kecenderungan alamiah untuk rebah itu. Kejelian seseorang memilih dan mengenali tabiat bahan bangunan serta ketrampilannya menangani gaya-gaya yang bekerja pada hubungan unsur bangunan satu dengan yang lain menjadi taruhan tegaknya bangunan tadi. Sambungan (joint) adalah jantung persoalan ini. Apaboleh buat, manusia pembangun hanya bisa menurut pada kemampuan yang bisa diberikan oleh bahan bangunan yang ada padanya, sehingga perkara mengoptimalkan kemampuan bahan hingga sampai pada batas-batasnya adalah perkara penting bagi manusia pembangun.
Manusia pembangun di sini adalah para tukang, dan setiap orang pada mulanya adalah tukang bagi dirinya sendiri. Tukang dan ketukangannya, craft and craftmanship adalah batu penjuru dari proses membangun, suatu peran penting dalam kebudayaan yang sering dikecilkan oleh praktik dan pengajaran arsitektur masa kini.
Bila kebudayaan adalah buah dari penciptaan tempat (place), maka ketika seseorang menetap di sebidang tanah di muka bumi dan, dengan menggunakan peralatan dan bahasa, menegakkan batas-batas teritori ruangnya, maka sebenarnya ia tengah menciptakan dunia bagi dirinya.
Kembali menghargai peran tukang adalah sebentuk kesadaran bahwa kultur membangun itu bermula dari hasrat eksistensial manusia untuk tegak di muka bumi, di tempatnya. Bangunan, dengan demikian, adalah "tempat" dan sekaligus "buah" manusia menjalankan aktivitas budayanya.
tektonika
Mengikuti Kenneth Frampton dalam “Studies in Tectonic Culture, 1995”, konon istilah tektonika diturunkan dari kata tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau manusia pembangun (builder), yang pada gilirannya nanti akan berhubungan dengan istilah Sanskrit taksan, yang merujuk pada ketrampilan dan pertukangan kayu, atau hal yang berhubungan dengan penggunaan kampak (axe).
Di Gerika Kuna istilah ini muncul dalam Homer, di sana istilah ini digunakan untuk pengertian seni membangun pada umumnya. Kata kerja membangun (tektainomai) dan membuat (poesis) berkaitan amat erat. Dalam Sappho, tekton -si tukang- dipadankan dengan penyair (poet). Memang pada abad kelima SM pengertian ini mengalami evolusi dari sesuatu yang sangat khusus dan fisik, seperti pertukangan kayu (carpentry), kepada gagasan 'membuat' yang lebih umum yang memasukkan juga kedalamnya pengertian poesis.
Secara umum, dengan mengikuti Gottfried Semper, kita menggunakan istilah tektonika (tectonics) ini untuk merujuk pada ketrampilan menyusun atau membuat yang menggunakan bahan ringan sebagai lawan dari penggunaan bahan berat (batu, lempung) yang oleh Semper digolongkan sebagai stereotomic.
Dengan 'menyusun' dan 'membuat' di sini memasukkan juga kegiatan seperti menjalin, merajut, menganyam dari bahan-bahan ringan semacam rumput, alang-alang, rotan, tali, benang, kain, membran, dsb.
Menganyam, merajut dan menjalin adalah kegiatan-kegiatan mendasar dalam kebudayaan. Bila Abbé Laughier mengajukan gagasan tentang 'primitive hut' sebagai cikal-bakal hunian manusia, maka Semper (seperti dikutip Aaron Betsky dalam Building Sex, 1995) menawar dengan mengatakan bahwa tenda adalah hunian awal manusia. Telaah etnologisnya mendukung untuk mengatakan bahwa tindakan menganyam dan menenun ranting dan kemudian benang untuk menjadi tenda - yang dilakukan baik oleh lelaki maupun perempuan- adalah tindakan-tindakan awal membuat hunian, jauh ketika manusia masih nomad.
Dan, lihatlah, tindakan menganyam dan menenun itu, masih dapat kita saksikan pada banyak karya arsitektur vernakular di seluruh dunia, termasuk di Nusantara. Dinding, lantai dan atap pada arsitektur Nusantara dapat dianggap sebagai buah dari tenunan bahan-bahan alami yang ada di sekitarnya: ragum, ijuk, gedek, ilalang, rotan, dan sebagainya, yang tidak jauh dari produk kerajinan tangan seperti tikar, tenong, kukusan, besek, dan alat-alat rumahtangga lain.
Menganyam suatu bahan, masih mengikuti Semper, perlu diberi catatan lebih lanjut karena batu bata, batu koral, kerikil, dan bahan-bahan lain -sekalipun berat bobotnya- tapi bila disusun, ditebar atau dirangkai menjadi struktur yang lebih besar, pun dapat digolongkan sebagai karya tektonika.
bahan
Place - space - structure - dan material adalah suatu kontinuum. Jelasnya, penciptaan tempat untuk “ada” manusia memerlukan penegasan teritori ruang melalui pendirian suatu struktur yang tersusun atas bahan-bahannya. Bahan, dengan demikian, adalah titik tolak dalam proses membangun. Manipulasi bahan oleh alat dan prosedur (teknik, technique) -artinya: terknologi- tertentu akan menghasilkan karya-karya yang khas. Di tempat yang banyak bambu akan melahirkan alat-alat yang memang cocok untuk menangani bambu, dan pada gilirannya akan membutuhkan tatacara atau prosedur yang memang khas untuk bambu. Terobosan pada salah satu dari ketiga unsur teknologi tadi akan membuka khasanah yang tidak habis dicari kemungkinan-kemungkinannya yang baru.
Bagaimana dengan sikap terhadap bahan-bahan yang baru, bagaimana memahami kodrat dari bahan yang baru? Dengan datangnya bahan-bahan yang baru, kita cenderung bekerja dengan berpedoman pada bahan yang sebelumnya kita kenal, sebagaimana kolom-kolom besi yang perlakuannya meniru cara bekerjanya kolom kayu. Memang, tidak ada kesepakatan pada segi apanya yang kita tiru dari bahan sebelumnya itu. Ketika beton diperkenalkan, ada banyak cara memandang dan cara memperlakukannya: sebagai lempung, sebagai batu, sebagai bata, sebagai kayu... Juga, ketika besi cor dikenalkan, ada yang memperlakukannya sebagai bahan cair (liquid) yang cocok untuk membuat bentuk-bentuk florist yang bersulur-sulur, sementara ada pula yang memperlakukannya sebagai batang-batang besi karena meneladani batang-batang kayu sebagai pendahulunya. Bahan baru atau lama, tuntutan untuk mengenali kodratnya adalah utama.
Sepanjang sejarah, banyak arsitek telah mencoba bermain dengan bahan-bahan yang ada di suatu tempat, namun memperlakukannya dengan teknik (dan sekaligus alat) yang baru. Hasilnya adalah bangunan yang seolah lama namun baru. Dengan ini maka tradisi membangun dibawa maju dan semangat lokal tetap dipelihara.
dialog di sambungan
Karena membangun tak terelakkan lagi adalah kegiatan menyusun satuan-satuan bahan yang direncanakan melindungi tempat manusia berada, maka hubungan satuan satu dengan yang lain, hubungan bahan satu dengan yang lain menjadi perkara penting yang harus mendapatkan perhatian penuh. "Tectonics becomes the art of joinings", kata Adolf Heinrich Borbein, 1982. Sambungan (joints), suatu keadaan yang niscaya ada, harus terjamin tidak hanya pada kekuatannya namun juga keselarasannya. Sambungan ini tidak hanya harus benar secara statika, namun harus juga menampilkan diri secara visual kebenaran nalar itu. Kebenaran statika yang terungkap dalam citra !
Sambungan yang menceriterakan secara visual peri bagaimana bagian satu bertemu dengan bagian lain juga mengisahkan riwayat perjalanan gaya dari puncak struktur hingga masuk mengakar ke bumi, yang dengan itu terjelaskanlah bagaimana struktur itu bisa tegak melawan gravitasi. Riwayat suatu bangunan jadi jernih terbaca, telanjang di hadapan siapa pun.
Dialog berjumpanya bahan yang berbeda di sambungan itu -seperti laiknya perjumpaan apa pun- selalu berlimpah dengan potensi untuk penafsiran: perjumpaan macam apa yang tengah berlangsung? Dominasi? Berpautan? Jalin-menjalin? Saling mengelak? Dan sebagainya.
'God is in detail' demikian seorang arsitek modernis Mies Van der Rohe menekankan betapa pentingnya sambungan.
Di sini, di sambungan ini, bangunan ditantang: mampukah mengungkap (aletheia) kebenaran? Arsitektur yang ingin serba menutup tubuhnya dan hanya mengabdikan diri pada volume ruang mengabaikan dan mengaburkan sambungan, serta memerosotkan arsitektur itu sendiri.
indah dan benar
Pengalaman akan keindahan bermula dari pesona, rasa takjub. Keterpesonaan kita pada sesuatu ciptaan, natural maupun kultural, membenamkan kita pada keindahan atau 'hal indah' itu. Tidak jadi soal, apakah keindahan yang kita hayati itu molek gemerlap atau kotor berdebu. Dengan menghayati kebenaran rumus matematika pun kita bisa terbenam dalam keindahan itu. Kita menghayati keindahan ketika kita menyadari bahwa kelumrahan telah dilampaui atau di-atas-i.
Suatu ciptaan, baik yang sederhana maupun yang pelik (sophisticated) dapat menggiring kita pada keindahan bila menyingkapkan kebenaran.
Dan itu salah satunya juga dapat ditemui orang pada karya arsitektur yang baik. Karya-karya arsitektural yang dapat mengungkapkan bagaimana ia dibangun, dirangkai, bagaimana gaya berlalu-lintas dan terdistribusi pada sambungannya, serta bagaimana bahan-bahan itu berbicara apa adanya dan berdialog satu dengan yang lain dengan bahasa yang jernih itu dapat kita jumpai dalam karya Mangunwijaya. Pemahamannya tentang keindahan yang seperti ini diturutnya dari ucapan St. Thomas Aguinas : "Keindahan adalah pancaran kebenaran", (Pulchrum splendor est veritatis).
mangunwijaya, menangnya manusia pembangun
Tektonika adalah salah satu segi terkuat dari karya Mangunwijaya. Hampir seluruh karyanya dibentuk dari sikap hormatnya pada bahan dan bagaimana memperlakukannya. Ia berperan sebagai manusia pembangun sebaik-baiknya: tukang.
Ia bergaul erat dengan tukang, dengan ketrampilannya, dengan spirit ketukangannya. Ia memiliki mata, hati dan tangan seorang tukang. Di tangannya batu dan kayu itu bicara lewat bentuk, bobot, tekstur, yang kemudian bersama dengan bahan yang lain berdialog dengan selaras. Dengan bebas bahan itu ditundukkannya, dilepaskannya dari jeratan pabrik yang telah memaksanya berbentuk dan berukuran tertentu. Tukang yang pantang menyerah dengan keterbatasan bahan, yang diterobosnya dengan pengetahuannya yang tinggi tentang statika dan fisika bangunan. Hampir di setiap proyeknya, ongkos tukang lebih besar daripada harga bahan bangunannya! Dia mengenal tukang-tukangnya, demikian pula para tukang itu hapal dengan tipologi sang master.
pendidikan arsitektur
Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya. Mengikuti cara Mangunwijaya membangun adalah seperti magang pada seorang Master Tukang, suatu model pendidikan yang sebenarnya paling sesuai untuk arsitektur. Jarak yang terlalu jauh antara gagasan dan pewujudan bisa diatasi dengan mengakrabkan mahasiswa bergaul dengan bahan-bahan sejak mula. Studi model jadi penting sekali untuk dikembangkan dalam pendidikan kita.
sejarah arsitektur nusantara
Ia melanjutkan ketukangan tradisional yang ada di sekitarnya dengan penjelajahan baru terhadap bahan-bahan yang digunakan. Lihatlah, melalui teknik dan alat yang baru, karya-karyanya serentak baru namun tetap berakar di tempatnya.
Bila arsitektur tradisional memiliki kendala lokalitas sehingga hanya punya pilihan terbatas untuk mendapatkan bahan bangunan, maka MAngunwijaya pun memiliki kendala biaya sehingga harus mengandalkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya. Situasi yang sama-sama terbatas ini rupanya telah sama-sama memaksa lahirnya karya yang memeras bahan sampai pada batas-batasnya, sampai pada esensinya. Bahan-bahan tampil dengan wajar, apa adanya, benar dan akhirnya... indah. Keindahan tektonika !
Bentuk-bentuk bangunan karyanya sama sekali tidak berpretensi meniru atau memiripkan diri dengan bangunan tradisional manapun di Nusantara ini, namun semangat untuk selalu memulai membangun dari bahannya inilah yang membuat Mangunwijaya mendapat tempat dalam sejarah arsitektur Nusantara, berada dalam tradisi yang sama dengan para pendahulunya.
Dikutip dari : www.tulisan.scriptmania.com
memasuki bangunan
Dalam bahasa sesehari kita, kata membangun memuat pengertian menegakkan, menyusun dan membuat susunan itu berdiri di atas bumi. Mungkin kata ini diambil dari ranah (domain) domestik ketika manusia harus menegakkan rumah dan membangun dunia kecil yang ia kuasai di sekeping tanah di muka bumi. Dan sementara itu, rumah adalah bangunan pertama yang manusia bangun, sebelum ia mengenal dan membangun 'rumah sakit', 'rumah makan', 'rumah tahanan', 'rumah ibadah' dan 'rumah-rumah' yang lain. Artinya, kegiatan membangun adalah salah satu kegiatan yang eksistensial bagi tegaknya manusia berada di muka bumi.
Bangunan, pertama-tama adalah produk kegiatan teknis (sudilah mengingat pengertian 'tekhne' yang menurunkan istilah 'teknis' ini, sebagaimana ditulis Heidegger dalam “Building Dwelling Thinking”, 1954), sebelum kemudian ditafsir atau dibaca sebagai sebuah teks dalam semiotika dan diperlakukan sebagai simbol yang bermakna. Dengan menyebut arsitektur sebagai bangunan, ini adalah usaha untuk mengembalikan dia pada aspek materialnya.
Secara teknis, menegakkan bangunan adalah semacam perjuangan sebagai perlawanan terhadap gravitasi, sebab semua bahan yang manusia pilih dari alam, untuk disusun dan ditegakkan sebagai unsur bangunan itu memiliki kecenderungan untuk rebah ke tanah. Melalui Galileo dan Newton kita diberitahu tentang konsep gaya, energi dan daya. Kita juga diberitahu bahwa suatu struktur bisa berdiri dan tidak kolaps itu karena ada konfigurasi yang seimbang dari gaya-gaya yang bekerja padanya. Setiap struktur yang stabil selalu dapat digambarkan diagram dari gaya beban yang bekerja, beserta gaya lain yang mengimbanginya.
Kegiatan membangun adalah upaya menangani itu, melawan kecenderungan alamiah untuk rebah itu. Kejelian seseorang memilih dan mengenali tabiat bahan bangunan serta ketrampilannya menangani gaya-gaya yang bekerja pada hubungan unsur bangunan satu dengan yang lain menjadi taruhan tegaknya bangunan tadi. Sambungan (joint) adalah jantung persoalan ini. Apaboleh buat, manusia pembangun hanya bisa menurut pada kemampuan yang bisa diberikan oleh bahan bangunan yang ada padanya, sehingga perkara mengoptimalkan kemampuan bahan hingga sampai pada batas-batasnya adalah perkara penting bagi manusia pembangun.
Manusia pembangun di sini adalah para tukang, dan setiap orang pada mulanya adalah tukang bagi dirinya sendiri. Tukang dan ketukangannya, craft and craftmanship adalah batu penjuru dari proses membangun, suatu peran penting dalam kebudayaan yang sering dikecilkan oleh praktik dan pengajaran arsitektur masa kini.
Bila kebudayaan adalah buah dari penciptaan tempat (place), maka ketika seseorang menetap di sebidang tanah di muka bumi dan, dengan menggunakan peralatan dan bahasa, menegakkan batas-batas teritori ruangnya, maka sebenarnya ia tengah menciptakan dunia bagi dirinya.
Kembali menghargai peran tukang adalah sebentuk kesadaran bahwa kultur membangun itu bermula dari hasrat eksistensial manusia untuk tegak di muka bumi, di tempatnya. Bangunan, dengan demikian, adalah "tempat" dan sekaligus "buah" manusia menjalankan aktivitas budayanya.
tektonika
Mengikuti Kenneth Frampton dalam “Studies in Tectonic Culture, 1995”, konon istilah tektonika diturunkan dari kata tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau manusia pembangun (builder), yang pada gilirannya nanti akan berhubungan dengan istilah Sanskrit taksan, yang merujuk pada ketrampilan dan pertukangan kayu, atau hal yang berhubungan dengan penggunaan kampak (axe).
Di Gerika Kuna istilah ini muncul dalam Homer, di sana istilah ini digunakan untuk pengertian seni membangun pada umumnya. Kata kerja membangun (tektainomai) dan membuat (poesis) berkaitan amat erat. Dalam Sappho, tekton -si tukang- dipadankan dengan penyair (poet). Memang pada abad kelima SM pengertian ini mengalami evolusi dari sesuatu yang sangat khusus dan fisik, seperti pertukangan kayu (carpentry), kepada gagasan 'membuat' yang lebih umum yang memasukkan juga kedalamnya pengertian poesis.
Secara umum, dengan mengikuti Gottfried Semper, kita menggunakan istilah tektonika (tectonics) ini untuk merujuk pada ketrampilan menyusun atau membuat yang menggunakan bahan ringan sebagai lawan dari penggunaan bahan berat (batu, lempung) yang oleh Semper digolongkan sebagai stereotomic.
Dengan 'menyusun' dan 'membuat' di sini memasukkan juga kegiatan seperti menjalin, merajut, menganyam dari bahan-bahan ringan semacam rumput, alang-alang, rotan, tali, benang, kain, membran, dsb.
Menganyam, merajut dan menjalin adalah kegiatan-kegiatan mendasar dalam kebudayaan. Bila Abbé Laughier mengajukan gagasan tentang 'primitive hut' sebagai cikal-bakal hunian manusia, maka Semper (seperti dikutip Aaron Betsky dalam Building Sex, 1995) menawar dengan mengatakan bahwa tenda adalah hunian awal manusia. Telaah etnologisnya mendukung untuk mengatakan bahwa tindakan menganyam dan menenun ranting dan kemudian benang untuk menjadi tenda - yang dilakukan baik oleh lelaki maupun perempuan- adalah tindakan-tindakan awal membuat hunian, jauh ketika manusia masih nomad.
Dan, lihatlah, tindakan menganyam dan menenun itu, masih dapat kita saksikan pada banyak karya arsitektur vernakular di seluruh dunia, termasuk di Nusantara. Dinding, lantai dan atap pada arsitektur Nusantara dapat dianggap sebagai buah dari tenunan bahan-bahan alami yang ada di sekitarnya: ragum, ijuk, gedek, ilalang, rotan, dan sebagainya, yang tidak jauh dari produk kerajinan tangan seperti tikar, tenong, kukusan, besek, dan alat-alat rumahtangga lain.
Menganyam suatu bahan, masih mengikuti Semper, perlu diberi catatan lebih lanjut karena batu bata, batu koral, kerikil, dan bahan-bahan lain -sekalipun berat bobotnya- tapi bila disusun, ditebar atau dirangkai menjadi struktur yang lebih besar, pun dapat digolongkan sebagai karya tektonika.
bahan
Place - space - structure - dan material adalah suatu kontinuum. Jelasnya, penciptaan tempat untuk “ada” manusia memerlukan penegasan teritori ruang melalui pendirian suatu struktur yang tersusun atas bahan-bahannya. Bahan, dengan demikian, adalah titik tolak dalam proses membangun. Manipulasi bahan oleh alat dan prosedur (teknik, technique) -artinya: terknologi- tertentu akan menghasilkan karya-karya yang khas. Di tempat yang banyak bambu akan melahirkan alat-alat yang memang cocok untuk menangani bambu, dan pada gilirannya akan membutuhkan tatacara atau prosedur yang memang khas untuk bambu. Terobosan pada salah satu dari ketiga unsur teknologi tadi akan membuka khasanah yang tidak habis dicari kemungkinan-kemungkinannya yang baru.
Bagaimana dengan sikap terhadap bahan-bahan yang baru, bagaimana memahami kodrat dari bahan yang baru? Dengan datangnya bahan-bahan yang baru, kita cenderung bekerja dengan berpedoman pada bahan yang sebelumnya kita kenal, sebagaimana kolom-kolom besi yang perlakuannya meniru cara bekerjanya kolom kayu. Memang, tidak ada kesepakatan pada segi apanya yang kita tiru dari bahan sebelumnya itu. Ketika beton diperkenalkan, ada banyak cara memandang dan cara memperlakukannya: sebagai lempung, sebagai batu, sebagai bata, sebagai kayu... Juga, ketika besi cor dikenalkan, ada yang memperlakukannya sebagai bahan cair (liquid) yang cocok untuk membuat bentuk-bentuk florist yang bersulur-sulur, sementara ada pula yang memperlakukannya sebagai batang-batang besi karena meneladani batang-batang kayu sebagai pendahulunya. Bahan baru atau lama, tuntutan untuk mengenali kodratnya adalah utama.
Sepanjang sejarah, banyak arsitek telah mencoba bermain dengan bahan-bahan yang ada di suatu tempat, namun memperlakukannya dengan teknik (dan sekaligus alat) yang baru. Hasilnya adalah bangunan yang seolah lama namun baru. Dengan ini maka tradisi membangun dibawa maju dan semangat lokal tetap dipelihara.
dialog di sambungan
Karena membangun tak terelakkan lagi adalah kegiatan menyusun satuan-satuan bahan yang direncanakan melindungi tempat manusia berada, maka hubungan satuan satu dengan yang lain, hubungan bahan satu dengan yang lain menjadi perkara penting yang harus mendapatkan perhatian penuh. "Tectonics becomes the art of joinings", kata Adolf Heinrich Borbein, 1982. Sambungan (joints), suatu keadaan yang niscaya ada, harus terjamin tidak hanya pada kekuatannya namun juga keselarasannya. Sambungan ini tidak hanya harus benar secara statika, namun harus juga menampilkan diri secara visual kebenaran nalar itu. Kebenaran statika yang terungkap dalam citra !
Sambungan yang menceriterakan secara visual peri bagaimana bagian satu bertemu dengan bagian lain juga mengisahkan riwayat perjalanan gaya dari puncak struktur hingga masuk mengakar ke bumi, yang dengan itu terjelaskanlah bagaimana struktur itu bisa tegak melawan gravitasi. Riwayat suatu bangunan jadi jernih terbaca, telanjang di hadapan siapa pun.
Dialog berjumpanya bahan yang berbeda di sambungan itu -seperti laiknya perjumpaan apa pun- selalu berlimpah dengan potensi untuk penafsiran: perjumpaan macam apa yang tengah berlangsung? Dominasi? Berpautan? Jalin-menjalin? Saling mengelak? Dan sebagainya.
'God is in detail' demikian seorang arsitek modernis Mies Van der Rohe menekankan betapa pentingnya sambungan.
Di sini, di sambungan ini, bangunan ditantang: mampukah mengungkap (aletheia) kebenaran? Arsitektur yang ingin serba menutup tubuhnya dan hanya mengabdikan diri pada volume ruang mengabaikan dan mengaburkan sambungan, serta memerosotkan arsitektur itu sendiri.
indah dan benar
Pengalaman akan keindahan bermula dari pesona, rasa takjub. Keterpesonaan kita pada sesuatu ciptaan, natural maupun kultural, membenamkan kita pada keindahan atau 'hal indah' itu. Tidak jadi soal, apakah keindahan yang kita hayati itu molek gemerlap atau kotor berdebu. Dengan menghayati kebenaran rumus matematika pun kita bisa terbenam dalam keindahan itu. Kita menghayati keindahan ketika kita menyadari bahwa kelumrahan telah dilampaui atau di-atas-i.
Suatu ciptaan, baik yang sederhana maupun yang pelik (sophisticated) dapat menggiring kita pada keindahan bila menyingkapkan kebenaran.
Dan itu salah satunya juga dapat ditemui orang pada karya arsitektur yang baik. Karya-karya arsitektural yang dapat mengungkapkan bagaimana ia dibangun, dirangkai, bagaimana gaya berlalu-lintas dan terdistribusi pada sambungannya, serta bagaimana bahan-bahan itu berbicara apa adanya dan berdialog satu dengan yang lain dengan bahasa yang jernih itu dapat kita jumpai dalam karya Mangunwijaya. Pemahamannya tentang keindahan yang seperti ini diturutnya dari ucapan St. Thomas Aguinas : "Keindahan adalah pancaran kebenaran", (Pulchrum splendor est veritatis).
mangunwijaya, menangnya manusia pembangun
Tektonika adalah salah satu segi terkuat dari karya Mangunwijaya. Hampir seluruh karyanya dibentuk dari sikap hormatnya pada bahan dan bagaimana memperlakukannya. Ia berperan sebagai manusia pembangun sebaik-baiknya: tukang.
Ia bergaul erat dengan tukang, dengan ketrampilannya, dengan spirit ketukangannya. Ia memiliki mata, hati dan tangan seorang tukang. Di tangannya batu dan kayu itu bicara lewat bentuk, bobot, tekstur, yang kemudian bersama dengan bahan yang lain berdialog dengan selaras. Dengan bebas bahan itu ditundukkannya, dilepaskannya dari jeratan pabrik yang telah memaksanya berbentuk dan berukuran tertentu. Tukang yang pantang menyerah dengan keterbatasan bahan, yang diterobosnya dengan pengetahuannya yang tinggi tentang statika dan fisika bangunan. Hampir di setiap proyeknya, ongkos tukang lebih besar daripada harga bahan bangunannya! Dia mengenal tukang-tukangnya, demikian pula para tukang itu hapal dengan tipologi sang master.
pendidikan arsitektur
Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya. Mengikuti cara Mangunwijaya membangun adalah seperti magang pada seorang Master Tukang, suatu model pendidikan yang sebenarnya paling sesuai untuk arsitektur. Jarak yang terlalu jauh antara gagasan dan pewujudan bisa diatasi dengan mengakrabkan mahasiswa bergaul dengan bahan-bahan sejak mula. Studi model jadi penting sekali untuk dikembangkan dalam pendidikan kita.
sejarah arsitektur nusantara
Ia melanjutkan ketukangan tradisional yang ada di sekitarnya dengan penjelajahan baru terhadap bahan-bahan yang digunakan. Lihatlah, melalui teknik dan alat yang baru, karya-karyanya serentak baru namun tetap berakar di tempatnya.
Bila arsitektur tradisional memiliki kendala lokalitas sehingga hanya punya pilihan terbatas untuk mendapatkan bahan bangunan, maka MAngunwijaya pun memiliki kendala biaya sehingga harus mengandalkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya. Situasi yang sama-sama terbatas ini rupanya telah sama-sama memaksa lahirnya karya yang memeras bahan sampai pada batas-batasnya, sampai pada esensinya. Bahan-bahan tampil dengan wajar, apa adanya, benar dan akhirnya... indah. Keindahan tektonika !
Bentuk-bentuk bangunan karyanya sama sekali tidak berpretensi meniru atau memiripkan diri dengan bangunan tradisional manapun di Nusantara ini, namun semangat untuk selalu memulai membangun dari bahannya inilah yang membuat Mangunwijaya mendapat tempat dalam sejarah arsitektur Nusantara, berada dalam tradisi yang sama dengan para pendahulunya.
Dikutip dari : www.tulisan.scriptmania.com
ARSITEKTONIK( english version) 2
Studies in Tectonic Culture
Kenneth Frampton's long-awaited follow-up to his classic A Critical History of Modern Architecture is certain to influence any future debate on the evolution of modern architecture.
Studies in Tectonic Culture is nothing less than a rethinking of the entire modern architectural tradition. The notion of tectonics as employed by Frampton—the focus on architecture as a constructional craft—constitutes a direct challenge to current mainstream thinking on the artistic limits of postmodernism, and suggests a convincing alternative. Indeed, Frampton argues, modern architecture is invariably as much about structure and construction as it is about space and abstract form.
Composed of ten essays and an epilogue that trace the history of contemporary form as an evolving poetic of structure and construction, the book's analytical framework rests on Frampton's close readings of key French and German, and English sources from the eighteenth century to the present. He clarifies the various turns that structural engineering and tectonic imagination have taken in the work of such architects as Perret, Wright, Kahn, Scarpa, and Mies, and shows how both constructional form and material character were integral to an evolving architectural expression of their work. Frampton also demonstrates that the way in which these elements are articulated from one work to the next provides a basis upon which to evaluate the works as a whole. This is especially evident in his consideration of the work of Perret, Mies, and Kahn and the continuities in their thought and attitudes that linked them to the past.
Frampton considers the conscious cultivation of the tectonic tradition in architecture as an essential element in the future development of architectural form, casting a critical new light on the entire issue of modernity and on the place of much work that has passed as "avant-garde."
Source : www.mitpress.mit.edu
Kenneth Frampton's long-awaited follow-up to his classic A Critical History of Modern Architecture is certain to influence any future debate on the evolution of modern architecture.
Studies in Tectonic Culture is nothing less than a rethinking of the entire modern architectural tradition. The notion of tectonics as employed by Frampton—the focus on architecture as a constructional craft—constitutes a direct challenge to current mainstream thinking on the artistic limits of postmodernism, and suggests a convincing alternative. Indeed, Frampton argues, modern architecture is invariably as much about structure and construction as it is about space and abstract form.
Composed of ten essays and an epilogue that trace the history of contemporary form as an evolving poetic of structure and construction, the book's analytical framework rests on Frampton's close readings of key French and German, and English sources from the eighteenth century to the present. He clarifies the various turns that structural engineering and tectonic imagination have taken in the work of such architects as Perret, Wright, Kahn, Scarpa, and Mies, and shows how both constructional form and material character were integral to an evolving architectural expression of their work. Frampton also demonstrates that the way in which these elements are articulated from one work to the next provides a basis upon which to evaluate the works as a whole. This is especially evident in his consideration of the work of Perret, Mies, and Kahn and the continuities in their thought and attitudes that linked them to the past.
Frampton considers the conscious cultivation of the tectonic tradition in architecture as an essential element in the future development of architectural form, casting a critical new light on the entire issue of modernity and on the place of much work that has passed as "avant-garde."
Source : www.mitpress.mit.edu
ARSITEKTONIK( english version)
Architectonic – Scenographic
The term architectonic and, more specifically, the Greek word tekton allude etymologically to the metier of the carpenter and therefore not only to the maker of the primitive Greek temple, but also to the primordial role of the frame and the joint in the genesis of any built construction. It is hardly necessary to add that the term architect itself derives from the term arkitekton, meaning chief constructor. The generic term architectonic refers not only to the technical means of supporting the building, but also to the myth and the reality of this structural achievement; that is, an architectonic work should display in an appropriate way the manner in which the artifice interacts with nature, not only in terms of resisting gravity, but also in terms of its durability with regard to the erosive agencies of climate and time. This applies to all architectonic forms, irrespective of whether the element is a frame and hence strictly tectonic or alternatively made of bonded masonry or rammed earth and hence stereotomic. In either case, one should be able to identify the architectonic element itself or, alternatively, the revetment or facing by which it is represented or by which it represents itself.
Scenography, on the other hand, comes from the Latin word scena and from frons scenae, meaning scene, and is thus essentially representational in nature. And while the architectonic and the scenographic may often be mutually complementary, they can also be antithetical. It may be argued that they have had, and have always had, quite different affinities; the one arising out of building in the aboriginal or Gothic sense of the term; the other being essentially identified with architecture, or, more precisely, with the Renaissance in a specific sense.
Be this as it may, one can easily see how the current tendency to reduce built form to images or to scenographic representation alone (either in terms of production or as a mode of beholding, or both; the impact of high speed film, advertising rhetoric and modern reproductive processes, etc.), only serves to strengthen the scenographic or imagistic reception/perception of built form, as opposed to the architectonic
Source : www.arcadejournal.com
The term architectonic and, more specifically, the Greek word tekton allude etymologically to the metier of the carpenter and therefore not only to the maker of the primitive Greek temple, but also to the primordial role of the frame and the joint in the genesis of any built construction. It is hardly necessary to add that the term architect itself derives from the term arkitekton, meaning chief constructor. The generic term architectonic refers not only to the technical means of supporting the building, but also to the myth and the reality of this structural achievement; that is, an architectonic work should display in an appropriate way the manner in which the artifice interacts with nature, not only in terms of resisting gravity, but also in terms of its durability with regard to the erosive agencies of climate and time. This applies to all architectonic forms, irrespective of whether the element is a frame and hence strictly tectonic or alternatively made of bonded masonry or rammed earth and hence stereotomic. In either case, one should be able to identify the architectonic element itself or, alternatively, the revetment or facing by which it is represented or by which it represents itself.
Scenography, on the other hand, comes from the Latin word scena and from frons scenae, meaning scene, and is thus essentially representational in nature. And while the architectonic and the scenographic may often be mutually complementary, they can also be antithetical. It may be argued that they have had, and have always had, quite different affinities; the one arising out of building in the aboriginal or Gothic sense of the term; the other being essentially identified with architecture, or, more precisely, with the Renaissance in a specific sense.
Be this as it may, one can easily see how the current tendency to reduce built form to images or to scenographic representation alone (either in terms of production or as a mode of beholding, or both; the impact of high speed film, advertising rhetoric and modern reproductive processes, etc.), only serves to strengthen the scenographic or imagistic reception/perception of built form, as opposed to the architectonic
Source : www.arcadejournal.com
ARSITEKTONIK ( lagi dan lagi..............)
The Art of Joining – Seni Menggabungkan
Berbicara mengenai arsitektur adalah berbicara mengenai garis, ruang dan bidang yang dikomposisikan dengan menggunakan material/bahan tertentu dan pada setting atau tempat yang tertentu pula. Bagaimana berbagai jenis material/bahan dikomposisikan dan mewujud dalam arsitektur melalui penyelesaian sambungan yang terkait dengan gaya konstruksi – itulah yang disebut dengan tektonika. Adolf Heinrich Borbein (1982) menyatakan ”Tectonics becomes the art of joining”. Sambungan (joints) harus terjamin tidak hanya pada kekuatannya, namun juga keselarasannya. Sambungan tidak hanya harus benar secara statika, namun harus juga menampilkan diri secara visual kebenaran nalar itu.
Arsitektur yang berhasil adalah arsitektur yang detil-detilnya diselesaikan dengan baik. Yang dimaksud dengan detil arsitektural adalah hubungan antara bagian /potongan/fragmen dalam sebuah bangunan dengan bangunan secara keseluruhan. Detil bukanlah sekedar elemen pembantu dalam arsitektur. Yang termasuk didalamnya adalah elemen-elemen komposisi; hubungan ruang luar dan ruang dalam, hubungan solid dan void, dan lain-lain. Maka seni detil adalah ”seni penggabungan: (the art of joining) dari bahan-bahan, elemen-elemen, komponen-komponen, atau bagian-bagian bangunan dalam suatu cara yang estetik dan fungsional.
Pada masa lalu, nenek moyang kita telah melakukan pengolahan detil pada arsitektur tradisional di berbagai daerah di Nusantara secara luar biasa. Susunan balok melintang dan membujur pada konstruksi tumpangsari dalam rumah tradisional Jawa dan konsol pada kolom tepi bangunan – di Kotagede disebut ”bahu dhanyang” adalah dua di antara detil arsitektural yang memberi karakter khusus pada bangunan. Demikian pula akhiran sambungan antara balok lantai yang membujur dan melintang pada rumah Batak, rumah Nias Selatan, rumah Toraja, dan lain sebagainya.
Ragam Detil dalam Arsitektur
Berikut ini adalah beberapa ragam detil yang dapat dikembangkan dalam desain arsitektur.
1. Detil Penyangga/Kolom
Kolom yang berfungsi sebagai penyangga dan penyalur beban dari atap bangunan dapat diselesaikan dengan detil yang baik baik pada ujung bawah (sambungan antara kolom dengan umpak dan lantai) maupun pada ujung atas (sambungan antara kolom dengan kepala/mahkota kolom dan balok).
2. Detil Penghubung
Tangga atau trap adalah penghubung antara lantai yang lebih rendah ke lantai yang lebih tinggi dan dapat diselesaikan dengan baik dengan cara mengolah detil sambungan misalnya: antara anak tangga dengan struktur penyangganya atau antara handrail dengan dinding maupun lantai.
3. Detil Solid-Void (Bidang Masif-Rongga)
Sebuah ruang seringkali membutuhkan pembatas dengan ruang yang lain. Ada ruang yang menuntut privacy tinggi sehingga perlu terlindung secara visual maupun fisikal. Ada pula ruang yang butuh pembatas secara fisikal namun tetap bisa terhubung secara visual. Hubungan antara sebuah pintu, jendela, atau bukaan dengan bidang dinding dapat diselesaikan dengan detil yang baik. Demikian pula pengolahan detil dapat dilakukan pada bidang vertikal yang berfungsi sebagai semacam tirai pembatas antara ruang dalam dan ruang luar.
4. Detail Bidang Transparan
Sebuah ruang seringkali membutuhkan pembatas yang tidak sepenuhnya masif, tetapi ada sebagian yang terbuka. Biasanya bidang ini berupa dinding roster yang apabila didesain secara khusus akan menambah keindahan ruang dan bangunan.
5. Detil Akhiran
Akhiran sebuah bidang, atau akhiran dari bidang-bidang yang saling bertemu berupa sebuah sudut yang dapat juga diselesaikan dengan detil yang baik, seperti halnya arsitektur kuno menyelesaikannya dengan desain kornis.
6. Detil Tekstur Permukaan
Unsur arsitektur yang berupa permukaan bidang sangat baik dalam mengeksploitasi cahaya, menguatkan fungsi penting dari warna, serta menciptakan kontras. Bidang-bidang dengan karakteristik bahan, tekstur, dan warna yang berbeda akan menghasilkan komposisi detil yang bagus.
Sumber : dikutip dari www.rumahjogja.com
Berbicara mengenai arsitektur adalah berbicara mengenai garis, ruang dan bidang yang dikomposisikan dengan menggunakan material/bahan tertentu dan pada setting atau tempat yang tertentu pula. Bagaimana berbagai jenis material/bahan dikomposisikan dan mewujud dalam arsitektur melalui penyelesaian sambungan yang terkait dengan gaya konstruksi – itulah yang disebut dengan tektonika. Adolf Heinrich Borbein (1982) menyatakan ”Tectonics becomes the art of joining”. Sambungan (joints) harus terjamin tidak hanya pada kekuatannya, namun juga keselarasannya. Sambungan tidak hanya harus benar secara statika, namun harus juga menampilkan diri secara visual kebenaran nalar itu.
Arsitektur yang berhasil adalah arsitektur yang detil-detilnya diselesaikan dengan baik. Yang dimaksud dengan detil arsitektural adalah hubungan antara bagian /potongan/fragmen dalam sebuah bangunan dengan bangunan secara keseluruhan. Detil bukanlah sekedar elemen pembantu dalam arsitektur. Yang termasuk didalamnya adalah elemen-elemen komposisi; hubungan ruang luar dan ruang dalam, hubungan solid dan void, dan lain-lain. Maka seni detil adalah ”seni penggabungan: (the art of joining) dari bahan-bahan, elemen-elemen, komponen-komponen, atau bagian-bagian bangunan dalam suatu cara yang estetik dan fungsional.
Pada masa lalu, nenek moyang kita telah melakukan pengolahan detil pada arsitektur tradisional di berbagai daerah di Nusantara secara luar biasa. Susunan balok melintang dan membujur pada konstruksi tumpangsari dalam rumah tradisional Jawa dan konsol pada kolom tepi bangunan – di Kotagede disebut ”bahu dhanyang” adalah dua di antara detil arsitektural yang memberi karakter khusus pada bangunan. Demikian pula akhiran sambungan antara balok lantai yang membujur dan melintang pada rumah Batak, rumah Nias Selatan, rumah Toraja, dan lain sebagainya.
Ragam Detil dalam Arsitektur
Berikut ini adalah beberapa ragam detil yang dapat dikembangkan dalam desain arsitektur.
1. Detil Penyangga/Kolom
Kolom yang berfungsi sebagai penyangga dan penyalur beban dari atap bangunan dapat diselesaikan dengan detil yang baik baik pada ujung bawah (sambungan antara kolom dengan umpak dan lantai) maupun pada ujung atas (sambungan antara kolom dengan kepala/mahkota kolom dan balok).
2. Detil Penghubung
Tangga atau trap adalah penghubung antara lantai yang lebih rendah ke lantai yang lebih tinggi dan dapat diselesaikan dengan baik dengan cara mengolah detil sambungan misalnya: antara anak tangga dengan struktur penyangganya atau antara handrail dengan dinding maupun lantai.
3. Detil Solid-Void (Bidang Masif-Rongga)
Sebuah ruang seringkali membutuhkan pembatas dengan ruang yang lain. Ada ruang yang menuntut privacy tinggi sehingga perlu terlindung secara visual maupun fisikal. Ada pula ruang yang butuh pembatas secara fisikal namun tetap bisa terhubung secara visual. Hubungan antara sebuah pintu, jendela, atau bukaan dengan bidang dinding dapat diselesaikan dengan detil yang baik. Demikian pula pengolahan detil dapat dilakukan pada bidang vertikal yang berfungsi sebagai semacam tirai pembatas antara ruang dalam dan ruang luar.
4. Detail Bidang Transparan
Sebuah ruang seringkali membutuhkan pembatas yang tidak sepenuhnya masif, tetapi ada sebagian yang terbuka. Biasanya bidang ini berupa dinding roster yang apabila didesain secara khusus akan menambah keindahan ruang dan bangunan.
5. Detil Akhiran
Akhiran sebuah bidang, atau akhiran dari bidang-bidang yang saling bertemu berupa sebuah sudut yang dapat juga diselesaikan dengan detil yang baik, seperti halnya arsitektur kuno menyelesaikannya dengan desain kornis.
6. Detil Tekstur Permukaan
Unsur arsitektur yang berupa permukaan bidang sangat baik dalam mengeksploitasi cahaya, menguatkan fungsi penting dari warna, serta menciptakan kontras. Bidang-bidang dengan karakteristik bahan, tekstur, dan warna yang berbeda akan menghasilkan komposisi detil yang bagus.
Sumber : dikutip dari www.rumahjogja.com
ARSITEKTONIK
ARSITEKTONIK
Tektonika berkaitan erat dengan material struktur, dan konstruksi, namun tektonika lebih menekankan pada aspek estetika yang dihasilkan oleh suatu sistem struktur atau ekspresi dari suatu konstruksi dari pada aspek teknologinya.
Penggunaan istilah tektonika sendiri sudah dikenal sejak lama dan telah mengalami perkembangan.
Tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis dengan kata tektonamai yang dalam bahasa yunani secara harafiah berartipertukangan kayu atau pembangun. Dalam bahasa sansakerta dapat disamakan dengan kata taksan yang berarti seni pertukangan kayu yang menggunakan kapak,
Puisi vedic juga mengartikan tektonik dalam arti yang sama, yaitu pertukangan kayu, kemudian homer mengartikan istilah ini sebagai seni konstruksi secara umum.
Adolf Heinrich Borbein juga mengungkapkan hal yang sama tentang tektonika, pada studi phiologinya (1982) dia mengatakan bahwa tektonika menjadi seni dari pertemuan atau sambungan, seni dalam hal ini ditekankan pada tekne, sehingga tektonika bukan hanya bagian dari bangunan tetapi dalam arti yang lebih sempit juga berarti sebagai objek atau karya seni.
Seiring perjalanan waktu, pengertian kata tektonik dalam konstruksi lebih mengarah kepada halpembuatan karya seni, tergantung benar salahnya penerapannya dalam kegunaan pada nilai seni tersebut.
Penggunaan istilah tektonika secara arsitektural muncul di jerman dalam buku karya Karl Otfried Muller yang berjudul ”Handbuch der Archeologie der kunst” / ”Handbook of the Archeology of Art” 1830.
Dia mengartikan tektonik sebagai penggunaan sederet bentuk seni pada peralatan, bejana bunga, pemukiman, dan tempat pertemuan, yang dibentuk dan dikembangkan di satu sisi pada penerapanya dan di sisi lain untuk menguatkan ekspresi perasaan dan pengertian atau buah pikiran seni.
Tektonika pada arsitektur sering kali dilakuakan karena ingin memberikan penekanan pentingnya suatu bagian bangunan tertentu dari bangunan dan keinginan memberiakan suatu ekspresi yang mendalam kepada bangunan.
Karl Botticher Pada bukunya ”The Tectonic Of Helen” memposisikan kata tektonik sebagai pemberi arti pada sistem ikatan yang lengkap dari semua bagian kiul yunani menjadi keseluruhan yang utuh, termasuk rangka dari sculpture dalam segala bentuk.
Sedangkan Semper mengelompokan tektonika pada bangunan menjadi dua prosedur yang mendasar, yaitu :
• Tektonika dari rangka ringan yang terdiri dari komponen-komponen linier yang dikelompokkan menjadi matriks spasial
• Steorotomik bagian dasar dimana massa dan volume terbentuk dari elemen-elemen berat.
Eduard Sekter dalam “Structure Constriction and tectonics” mendefinisikan bentuk tektonik sebagai ekspresi yang ditimbulkan oleh penekanan struktur dari bentuk konstruksi, dengan demikian hasil ekspresi tektonika tidak dapat diperhitungkan hanya sebagai istilah pada struktur dan konstruksi saja.
Arsitektonika, Struktur Konstruksi, dan Perancangan Arsitektur
Tektonika berperan dalam mengabungkan kesenjangan antara struktur dan konstruksi dengan perancangan dalam arsitektur, tektonika membedakan struktur dan konstruksi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Struktur hanya dipakai untuk keperluan mewujudkan rancnagan sebuah bangunan. Elemen-elemen struktur hanay sebagai elemen penerus beban,sedang karakteristik struktur tidak ikut memberikan nilai arsitekturalnya.
2. Struktur terintegrasi dengan fungsi dan bentuk bangunan, dengan demikian elemen-elemen struktur sekaligus adalah elemen-elemen arsitektural yang ikut memberikan nilai arsitekturalnya.
Arsitektonik lebih menitikberatkan pada poin yang ke dua, yaitu kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-elemen struktur untuk diterapkan dalam perancangan arsitektur yang mungkin akan memacu semangat akan pemahaman struktur secara mendalam.
Struktur dan Konstruksi memang merupakan aspek teknis namun disisi lain juga merupakan aspek simbolik yang representatif. Suatu karya arsitektur dapat berdiri karena terdapat pertimbangan struktur dan konstruksi didalamnya, namun tetap dalam kapasitasnya sebagai sebuah karya arsitektur, yang tetap menitik beratkan pada pengolahan-pengolahan bentuk dan elemen dari sistem struktur yang diterapkan.
Dalam hal ini arsitektonik berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran beban dan elemen-elemen struktur, mengolah bentuk secara inovatif hingga menghasilkan potensi bentuk arsitektural secara keseluryhan maupun sambungan detail-detail konstruksi yang digunakan. Bentuk-bentuk yang digunakan hendaknya mempunyai nilai filosofi dalam seni bangunan, bukan sekedar detail-detail figuratif yang abstrak.
Tektonika bisa dimulai dari pemilihan struktur bangunan sesuai fungsinya.
Contoh :
• Bangunan candi dibuat dengan struktur yang massif, berat, dan tertutup. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai tempat ibadah yang sakral dan magis, serta aberorientasi kedalam.
• Struktur pendopo pada rumah dat jawa yang terkesan ringan dan terbuka, hal ini menyangkut fungsinya sebagai tempat menerima tamu dan ditunjang dengan budaya masyarakat jawa yang terbuka kepada siapa saja yang datang.
• Bangunan ibadah yang ada yaitu gothic pada gereja, dan kubah pada mesjid
Tektonika tak berhenti pada sistem struktur saja, tetapi berlanjut kedalam elemen konstruksi seperti kolom-kolom, dinding-dinding, balok-balok, detail-detail sambungan.
Untuk menggabungkan bentu-bentuk arsitektur dan tektonika disbutuhkan suatu pengetahuan dan kepekaan terhadap desain dan material-material yang ada. Pencitraan masing-masing material harus benar-benar dipahami.
Berarsitektonik bukan sesuatu hal yang dapat dipelajari secara teoritis, tetapi diperlikan latihan-latihan dan uji coba.Pada tahap lanjut, diperlukan suatu pemikiran yang holistik(terpadu) antara perinsip-perinsip perancangan, konsep struktur, pengetahuan iklim sosial dan budaya, dll. Yang menunjang ide desain arsitektural secara utuh.
Sumber :
www.puslit2.petra.ac.id
www.eprints.undip.ac.id
www.digilib.its.ac.id
Tektonika berkaitan erat dengan material struktur, dan konstruksi, namun tektonika lebih menekankan pada aspek estetika yang dihasilkan oleh suatu sistem struktur atau ekspresi dari suatu konstruksi dari pada aspek teknologinya.
Penggunaan istilah tektonika sendiri sudah dikenal sejak lama dan telah mengalami perkembangan.
Tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis dengan kata tektonamai yang dalam bahasa yunani secara harafiah berartipertukangan kayu atau pembangun. Dalam bahasa sansakerta dapat disamakan dengan kata taksan yang berarti seni pertukangan kayu yang menggunakan kapak,
Puisi vedic juga mengartikan tektonik dalam arti yang sama, yaitu pertukangan kayu, kemudian homer mengartikan istilah ini sebagai seni konstruksi secara umum.
Adolf Heinrich Borbein juga mengungkapkan hal yang sama tentang tektonika, pada studi phiologinya (1982) dia mengatakan bahwa tektonika menjadi seni dari pertemuan atau sambungan, seni dalam hal ini ditekankan pada tekne, sehingga tektonika bukan hanya bagian dari bangunan tetapi dalam arti yang lebih sempit juga berarti sebagai objek atau karya seni.
Seiring perjalanan waktu, pengertian kata tektonik dalam konstruksi lebih mengarah kepada halpembuatan karya seni, tergantung benar salahnya penerapannya dalam kegunaan pada nilai seni tersebut.
Penggunaan istilah tektonika secara arsitektural muncul di jerman dalam buku karya Karl Otfried Muller yang berjudul ”Handbuch der Archeologie der kunst” / ”Handbook of the Archeology of Art” 1830.
Dia mengartikan tektonik sebagai penggunaan sederet bentuk seni pada peralatan, bejana bunga, pemukiman, dan tempat pertemuan, yang dibentuk dan dikembangkan di satu sisi pada penerapanya dan di sisi lain untuk menguatkan ekspresi perasaan dan pengertian atau buah pikiran seni.
Tektonika pada arsitektur sering kali dilakuakan karena ingin memberikan penekanan pentingnya suatu bagian bangunan tertentu dari bangunan dan keinginan memberiakan suatu ekspresi yang mendalam kepada bangunan.
Karl Botticher Pada bukunya ”The Tectonic Of Helen” memposisikan kata tektonik sebagai pemberi arti pada sistem ikatan yang lengkap dari semua bagian kiul yunani menjadi keseluruhan yang utuh, termasuk rangka dari sculpture dalam segala bentuk.
Sedangkan Semper mengelompokan tektonika pada bangunan menjadi dua prosedur yang mendasar, yaitu :
• Tektonika dari rangka ringan yang terdiri dari komponen-komponen linier yang dikelompokkan menjadi matriks spasial
• Steorotomik bagian dasar dimana massa dan volume terbentuk dari elemen-elemen berat.
Eduard Sekter dalam “Structure Constriction and tectonics” mendefinisikan bentuk tektonik sebagai ekspresi yang ditimbulkan oleh penekanan struktur dari bentuk konstruksi, dengan demikian hasil ekspresi tektonika tidak dapat diperhitungkan hanya sebagai istilah pada struktur dan konstruksi saja.
Arsitektonika, Struktur Konstruksi, dan Perancangan Arsitektur
Tektonika berperan dalam mengabungkan kesenjangan antara struktur dan konstruksi dengan perancangan dalam arsitektur, tektonika membedakan struktur dan konstruksi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Struktur hanya dipakai untuk keperluan mewujudkan rancnagan sebuah bangunan. Elemen-elemen struktur hanay sebagai elemen penerus beban,sedang karakteristik struktur tidak ikut memberikan nilai arsitekturalnya.
2. Struktur terintegrasi dengan fungsi dan bentuk bangunan, dengan demikian elemen-elemen struktur sekaligus adalah elemen-elemen arsitektural yang ikut memberikan nilai arsitekturalnya.
Arsitektonik lebih menitikberatkan pada poin yang ke dua, yaitu kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-elemen struktur untuk diterapkan dalam perancangan arsitektur yang mungkin akan memacu semangat akan pemahaman struktur secara mendalam.
Struktur dan Konstruksi memang merupakan aspek teknis namun disisi lain juga merupakan aspek simbolik yang representatif. Suatu karya arsitektur dapat berdiri karena terdapat pertimbangan struktur dan konstruksi didalamnya, namun tetap dalam kapasitasnya sebagai sebuah karya arsitektur, yang tetap menitik beratkan pada pengolahan-pengolahan bentuk dan elemen dari sistem struktur yang diterapkan.
Dalam hal ini arsitektonik berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran beban dan elemen-elemen struktur, mengolah bentuk secara inovatif hingga menghasilkan potensi bentuk arsitektural secara keseluryhan maupun sambungan detail-detail konstruksi yang digunakan. Bentuk-bentuk yang digunakan hendaknya mempunyai nilai filosofi dalam seni bangunan, bukan sekedar detail-detail figuratif yang abstrak.
Tektonika bisa dimulai dari pemilihan struktur bangunan sesuai fungsinya.
Contoh :
• Bangunan candi dibuat dengan struktur yang massif, berat, dan tertutup. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai tempat ibadah yang sakral dan magis, serta aberorientasi kedalam.
• Struktur pendopo pada rumah dat jawa yang terkesan ringan dan terbuka, hal ini menyangkut fungsinya sebagai tempat menerima tamu dan ditunjang dengan budaya masyarakat jawa yang terbuka kepada siapa saja yang datang.
• Bangunan ibadah yang ada yaitu gothic pada gereja, dan kubah pada mesjid
Tektonika tak berhenti pada sistem struktur saja, tetapi berlanjut kedalam elemen konstruksi seperti kolom-kolom, dinding-dinding, balok-balok, detail-detail sambungan.
Untuk menggabungkan bentu-bentuk arsitektur dan tektonika disbutuhkan suatu pengetahuan dan kepekaan terhadap desain dan material-material yang ada. Pencitraan masing-masing material harus benar-benar dipahami.
Berarsitektonik bukan sesuatu hal yang dapat dipelajari secara teoritis, tetapi diperlikan latihan-latihan dan uji coba.Pada tahap lanjut, diperlukan suatu pemikiran yang holistik(terpadu) antara perinsip-perinsip perancangan, konsep struktur, pengetahuan iklim sosial dan budaya, dll. Yang menunjang ide desain arsitektural secara utuh.
Sumber :
www.puslit2.petra.ac.id
www.eprints.undip.ac.id
www.digilib.its.ac.id
Langganan:
Postingan (Atom)